Hujan. Dirinya hanya ditemani oleh rintik yang membuncah dan bau tanah yang basah. Ruangan ini tampak penuh dengan kursi dan meja yang kosong. Suara-suara mahasiswa yang riuh rendah itu telah hilang. Mereka telah berimigrasi, entah ke mana. Tempat ini berubah menjadi begitu sepi. Sunyi.
Laki-laki itu menghela nafas.
“Hanya di air yang tenang, kamu bisa berkaca”.
Dia mengingat peribahasa itu entah darimana, entah mengapa. Mungkin hujan telah membuatnya sedikit sentimentil. Entahlah. Tapi ia percaya bahwa hujan ini datang dengan membisikkan sebuah pesan baginya. Dan inilah pesan itu:
Hanya di air yang tenang, seseorang dapat berkaca. Bukan di air yang keruh. Bukan pula di air yang sedang menggemuruh. Dan itulah mungkin perlunya sebuah refleksi.
Refleksi seharusnya sesuatu yang rutin dilakukan. Dalam sebuah perusahaan, di setiap akhir program selalu ada waktu evaluasi. Disana kita merefleksikan proses yang telah dilalui sembari menyusun rencana untuk ke depan. Untuk mengadakan evaluasi, kita harus minimal mempunyai fokus dan keberjarakan. Dan keduanya adalah sesuatu yang agak susah dilakukan saat ini.
Saat ini, dimana tuntutan untuk bersosialisasi sedemikian besar dan mengikutimu kemanapun kamu pergi, kesendirian adalah hal yang mewah. Tuntutan itu menghimpitmu di jalan-jalan melalui beragam poster dan spanduk. Menginvasi ruang-ruang di rumahmu melalui gempuran acara dan iklan di televisi. Dan ia menyusup ke dalam gadget-gadget pribadimu, memintamu untuk sekedar mem-browsing, meng-klik likes, follow, comment, retweet dan lainnya.
Fokus juga berarti memisahkan yang penting dari hal lainnya. Dari yang esensial dengan remeh temeh. Dan bicara tentang hal yang pokok, inilah yang dilihatnya: setiap orang berada di sini dengan alasannya masing-masing. Untuk dirinya, keinginan terbesar untuk berada di sini adalah karena ia ingin belajar, ia ingin mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahuinya. Mencoba dan mengapresesiasi sesuatu yang baru. Mungkin gambarannya sama seperti anak kecil yang melihat hal-hal di dunia ini untuk pertama kalinya. Mencoba melihatnya dalam pandangan kebaruan dan antusiasme yang penuh (dan mungkin juga naif dan kekanak-kanakan).
Di dalam proses itu, ia menemukan hal-hal baru: ilmu, lingkungan, pengalaman dan teman-teman baru. Ia jadi tahu bagaimana rasanya bangun jam 4 pagi dan naik angkot jam 5 untuk sampai ke kampus jam 7an sebelum kuliah dimulai (gila, dinginnya…brrr). Ia jadi tahu rasanya jadi anak kost yang terpaksa kelayapan tengah malam cari makanan (viva la perut de laper!). Juga belajar memahami dan berteman dengan individu-individu yang punya karakter dan latar belakang yang berlain-lainan. Berteman, berkonflik, berdamai, berproses dan menemukan dirinya sendiri di akhir semua itu.
Dan ia bersyukur: hidup telah memberinya begitu banyak. Tidak semua hal yang didapatnya berasa manis, tapi itulah hidup -dengan segenap pasang dan surutnya-.
Kini sepenggal kebersamaan itu telah berakhir. Semester ini telah usai. Kini waktunya untuk “mencerna” semua yang telah didapatkannya selama ini. Dan bersiap untuk menghadapi sebentuk masa depan yang belum terdefinisikan di depannya. Mungkin sesuatu akan hilang tapi tidak berarti bahwa ia tidak mendapatkan apa-apa darinya.
Dan saat ini, hanya sebentuk taman kosong dan pohon-pohon kesepian-lah yang menemaninya. Daun-daun berguguran. Air-air masih menetes di ujung dedaunan. Warna-warna terasa menyurut dari tanah menuju langit. Begitu segar. Indah. Tapi sekaligus -entah mengapa- udara Bandung yang berhembus sehabis hujan ini terasa begitu menusuk di pori-pori kulitnya.
Laki-laki itu bersiap beranjak pulang.
Ia tersenyum. Udara terasa begitu dingin. Tapi dalam hatinya ia merasakan sebentuk kehangatan menyusup. Hangat. Begitu hangat….
Ps: Masbro and mbaksis, thank you for making my life complete.
Image taken from Google Image